Bergabunglah

Bagi anda yang butuh biaya kuliah, buka usaha, tidak punya modal, cobalah luangkan waktu untuk mencermati, menganalisa tawaran kami di;
http://www.asiakita.com/halaqa-kita
Semoga mamfaat
Powered By Blogger

Senin, 08 Maret 2010

Tobat dan Epistemologi

SEBUAH VISI YANG AGUNG AKAN MENJADI MIMPI YANG TERWUJUD MEMBANGUN KETERATURAN SISTEM


I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hasil dari sebuah perenungan dan olah fikir setelah menelaah sebahagian kecil dari kandungan tiga buah buku yakni; (1) Pengantar Ilmu Fisafat; (2)Filsafat Ilmu Pengetahuan; dan (3) Filsafat Pendidikan tulisan Prof. Dr. Suparlan Suhartono, M.Ed, Ph.D , mendapatkan sebuah kesimpulan sementara yakni; Kehidupan manusia adalah sebuah proses yang penuh dengan dimanika, yang membutuhkan konsentrasi pemikiran dan penalaran oleh manusia itu sendiri, agar tetap pada koridor dan jalur yang semestinya. Dinamika yang dimaksud antara lain adalah manusia memiliki sikap yang cenderung membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, dimana antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dalam rangka memenuhi hajat hidupnya.
Konteks ini memberi gambaran akan eksistensi manusia yang berawal dari asal mula (kejadian) dari sesuatu yang absolut yakni causa prima (Sang Pencipta/Tuhan), selanjutnya berproses untuk mencapai tujuan yang menjadi harapannya (yakni kebahagiaan), kemudian akhir dari proses ini ditandai dengan kematian sebagai sebuah akhir semu, oleh karena dibalik akhir semu itu ada kehidupan yang absolut.
Pemahaman dari kesimpulan ini penulis mencoba merekonstruksi pemikiran bahwa arah dan tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan, ketentraman, dan kedamaian. Untuk mencapai hal-hal ini manusia perlu menerapkan metoda berfikir yakni pengembangan ilmu pengetahuan untuk segala bidang kajian. Sebagai contoh ketika manusia akan memenuhi kebutuhan makannya, maka manusia harus pandai bercocok tanam, berternak, mengolah sumber daya alam, agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan yang akan mengancam kelestarian ekosistem alam diperlukan penerapan ilmu pengetahuan yang benar. Dalam hal ini manusia memerlukan “Filsafat sebagai suatu metoda berfikir untuk menemukan suatu kebenaran universal atau kebenaran hakiki mengenai suatu obyek studi” .
Pada posisi ini peran filsafat yang perlu diterapkan adalah aspek “Epistemologi” yakni sebuah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan , yang mempersoalkan hakekat kebenaran suatu obyek. Artinya kebahagiaan, ketentraman, dan kedamaian berbanding lurus dengan kewajiban manusia mematuhi aturan kebenaran yang dimaknai usaha menjaga keteraturan system.
Apabila keteraturan system ini ternodai dengan sikap dan perilaku manusia yang menyimpang dari hakikat kebenaran akibat eksploitasi yang berlebihan, maka disinilah titik awal terjadinya sebuah malapetaka yang pada akhirnya mengkristal menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Pada titik ini dibutuhkan sebuah solusi yang disebut dengan usaha pertobatan.
Kata taubat yang berarti kembali sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab sebagai berikut :
Kata taubat terambil dari kata yang terdiri dari huruf-huruf tâ’, wauw dan bâ’, maknanya hanya satu yaitu kembali. Kata ini mengandung makna bahwa yang kembali pernah berada pada satu posisi-baik tempat maupun kedudukan-kemudian meninggalkan posisi itu, selanjutnya dengan “kembali” ia menuju kepada posisi semula.

Dengan demikian taubat dapat dimaknai bahwa manusia yang menyimpangkan sikap dan perilakunya dari rel keteraturan system yang telah dibangun oleh Sang Maha Pencipta (Allah SWT) dianggap meninggalkan posisi keteraturan system tersebut. Solusi yang paling tepat adalah berupayalah untuk kembali kepada keteraturan system karena hal ini merupakan sesuatu yang absolut (mutlak) diperlukan sebagai sebuah kebutuhan.


B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam makala ini menetapkan pada dua rumusan masalah sebagai batasan pembahasan yaitu :
1. Sejauhmana hubungan ketersinggungan antara tâubât dengan epistemologis?
2. Perlukah tâubât sebelum atau sesudah perilaku penyimpangan terhadap system?


II PEMBAHASAN MASALAH

A. Sejauhmana hubungan ketersinggungan antara tâubât dengan epistemologis
Ketika berbicara tentang epistemology tentu akan menyoal pada upaya penggalian makna kebenaran yang senantiasa berproses pada perilaku manusia, kebenaran yang dimaksud adalah terbangunnya pada setiap pribadi manusia sikap, diantaranya; sikap jujur, sikap kasih sayang, sikap tanggung jawab bahkan sikap disiplin yang menjadi karakter bagi manusia sebagai hasil aplikasi dari kajian dan obyek ilmu pengetahuan.
Epistemologi sebagai salah satu bidang filsafat nilai (axiology) yang mempelajarai tentang nilai kebenaran, jika dihubungkan dengan pendidikan maka yang menjadi issu utamanya adalah tentang nilai keilmuannya, yang akan mewujudkan nilai kebenaran dalam pendidikan dan pada gilirannya manusia senantiasa tertuntun kepada perilaku yang bijaksana baik pada dirinya, pada alam, terlebih kepada Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT.
Sejalan dengan hal tersebut seorang filosof sekitar tahun 400 s.m. yakni Socrates yang menterjemahkan filsafat sebagai suatu komunitas perilaku mencintai kebijaksanaan .
Kebijaksanaan yang dimaksud disini, penulis lebih memahaminya sebagai sikap rendah hati yang senantiasa tunduk dan patuh mengikuti tuntutan keteraturan yang menjadi perilaku dan kebutuhan alam. Sebaliknya sikap kesombongan dalam melakukan penyimpangan pada keteraturan system adalah sikap yang tidak bijaksana.
Bentuk-bentuk kesombongan sebagai aplikasi penyimpangan antara lain; manipulasi dan korupsi, berbagai bentuk kecurangan dan kedustaan, keserakahan, maupun dalam bentuk kejahatan lainnya diantaranya seperti merusak lingkungan dengan mengeploitasinya yang pada hakekatnya mengingkari fitrah yang telah dititipkan Allah SWT sebagai potensi di hati setiap manusia.
Firman Allah SWT;

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
QS. ar-Rum (30) : 30

Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Berdasarkan uraian ini dapat dipahami bahwa perilaku yang tidak wajar diluar fitrah sekaligus mencerminkan hakekat pengingkaran manusia terhadap eksistensinya yakni melepaskan diri dari ikatan subkoordinat system atau dengan kata lain perilakunya keluar dari jalur aspek epistemology disatu sisi.
Disisi yang lain tâubât yang dipahami sebagai proses kembalinya manusia pada posisi jalur kebenaran, maka titik singgung antara keduanya (epitemologi dengan tâubât) berada pada puncak kesadaran akan pemahaman dan pengenalan kembali jati diri manusia itu sendiri yang sekaligus membuka sinyal frekuensi untuk ketersambungan kepada Sang Maha Tunggal (sebagai sumber awal mula penciptaan).

B. Perlukah tâubât sebelum atau sesudah perilaku penyimpangan terhadap system
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa ketika taubat diterjemahkan sebagai proses kembali pada posisi keteraturan sehingga seluruh titik subkoordinat berfungsi sebagaimana mestinya, yang pada gilirannya memberi rasa kebahagiaan, ketentraman dan kedamaian pada keseluruhan sistem di alam semesta ini.
Dengan demikian keberadaan taubat tersebut tentulah akan diperlukan setelah proses perilaku penyimpangan, akan tetapi ketika pemahaman manusia ini telah sampai pada puncak klimaksnya menyadari bahwa betapa penting dan berharganya menjaga kelestarian lingkungan, menjaga ekosistem, menjaga keteraturan rotasi kehidupan ini yang diwarnai dengan sikap kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan optimisme yang menumbuhkan lahirnya kasih sayang diantara seluruh mahluk penghuni alam semesta raya ini, maka taubat akan menjadi kebutuhan sebagai perisai atau tamen pada setiap perilaku dan sikap manusia agar tidak terjadi tindak penyimpangan. Untuk itu dapat dikatakan taubat diperlukan sebelum terjadinya perilaku penyimpangan


III PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistemologi yang merupkan salah satu cabang ilmu filsafat nilai yang meniti beratkan obyek pembahasannya untuk menemukan nilai-nilai kebenaran segala sesuatu yang sekaligus mengarahkan kepada proses keteraturan pergerakan roda kehidupan seluruh mahluk di alam semesta raya ini.
Sedangkan taubat adalah akan menjadi jalan keluar (solusi) ketika ada diantara komponen alam semesta ini melakukan sikap penyimpangan (khusunya mahluk manusia yang punya potensi akal) untuk mengembalikan pada posisi keteraturan system.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sangat diharapkan agar senantiasa terjadi ketersinngungan perilaku sikap menyimpang dengan usaha pertobatan.
Bahkan sebuah visi filsafat yang sangat agung yakni terwujudnya mimpi yang sangat didambakan oleh seluruh mahluk penghuni alam semesta raya ini bahwa taubat hrus mampu menjadi perisai pada setiap manusia agar tidak terjadi perilaku menyimpang.

B. Saran-saran
Makala ini disusun dalam waktu yang sangat singkat sehingga kemungkinan besar banyak kekurangan dan kesalahan baik dari teknik pengetikan, pemilihan bahasa yang kurang tepat, termasuk muatan isi jauh dari kesempurnaan, termasuk pula penulis sebagai pemula menyelami dan memahami ilmu filsafat. Olehnya itu sangat diharapkan masukan saran perbaikan demi kesempurnaan pembahan makala ini.
Atas segala saran dan keritikan penulis ucapkan terma kasih, semoga Allah SWT meridoiNya, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Ed.IV, Cet.1,

Departemen Agama, al-Qu’an dan Terjemahnya, Jakarta, Proyek pengadaan Kitab Suci

Quraish Shihab, Menjemput Maut (Bekal Perjalanan Menuju Allah), Ciputat Tangerang, Lentera Hati, Cet.V, 2007, h.1

Suhartono Suparlan, Fisafat Pendidikan, Makassar, Badan Penerbit UNM 2009,

----------------------------, Pengantar Ilmu Pengetahuan, Makassar, Badan Penerbit UNM 2008,

----------------------------, Pengantar Ilmu Fisafat, Makassar, Badan Penerbit UNM 2008,

Makala Tafsir (QS. 4:32, 128; dan QS. 17:100)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt., menurunkan al-Qur’an fungsi utamanya adalah sebagai pedoman yang akan menata kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat agar hidup mereka berkualitas, yang akan mewujudkan kedamaian pada seluruh sektor kehidupan mahluk Allah Swt.
Pada makala ini ada tiga ayat yang menjadi subyek pembahasan yakni; pertama; Q.S. al-Nisa’ (4) : 32 yang berisi pesan anjuran agar tidak terjadi saling irihati antara laki-laki dan perempuan menyangkut hak dan kewajiban yang telah menjadi ketetapan Allah Swt., yang dapat menyebabkan timbulnya angan-angan yang tidak beralasan, oleh karena berdasarkan hakekat penciptaannya sangat sesuai dengan proporsional tugas dan kewajiban yang telah ditetapkan kepada masing-masing baik laki-laki maupun perempuan yang menunjukkan sebuah keadilan yang hakiki.
Kedua; Q.S. al-Nisa’ (4) : 128 melalui ayat ini Allah Swt., memberi tuntunan apabila khawatir terjadi nusyuz, maka tidak mengapa mengorbankan sebagian hak sebagai upaya mempertahankan kedamaian dalam rumah tangga, meskipun sangat disadari bahwa tabiat manusia adalah kikir. Bukan hanya kikir dalam hal harta tetapi juga kikir dalam hal kehilangan hak.
Ketiga; Q.S. al-Isra’ (17) : 100 ayat ini memberi penegasan bahwa watak manusia itu memang kikir, sebagaimana yang diperlihatkan oleh kaum musyrikin yang menahan gudang-gudang perbendaharaan (harta yang dikuasainya), enggan untuk diinfakkan/dibelanjakan walau sebagian karena takut akan kehabisan.
Berdasarkan analisis terhadap ketiga ayat tersebut penulis mengambil kesimpulan awal bahwa pesan sentralnya adalah perdamaian yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang melekat pada perilaku manusia (yang akan diuraikan secara rinci pada bab pembahasan dalam makala ini.
Sebagai upaya pembatasan ruang lingkup pembahasan, maka penulis menetapkan rumusan judul makala yakni; “Hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga”

B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makala ini terurai secara sistimatis maka penulis menetapkan urutan rumusan masalah berikut ini :
1. Apa pengertian hak dan kewajiban.
2. Sejauhmana perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
3. Bagaimana al-Qur’an menyikapi perdamaian dan keadilan terkait dengan hak dan kewajiban.

II. PEMBAHASAN MASALAH

A. Pengertian hak dan kewajiban
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia; Hak dapat berarti kebenaran, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan, derajat atau martabat, sementara kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan, keharusan, pekerjaan, dan tugas.
Dari pengertian tersebut bila dikaitkan dengan kehidupan berumah tangga, maka dapat dipahami bahwa hak (baik suami maupun isteri) adalah segala kepunyaan, kewenangan, kekuasaan, derajar dan martabat yang harus diperoleh sebagai pemberian dari pasangannya (baik sebagai suami ataupun sebagai isteri). Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang menjadi beban tugas yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi hak-hak pasangannya (suami atau isteri)
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hak dalam kehidupan berumahtangga segala sesuatu yang harus diperoleh sebagai pelayanan, sikap perilaku, dan pemberian yang diberikan oleh suami atau isteri dalam rangka tercapainya ketenraman dalam kehidupan.

B. Q.S. al-Nisa’ (4) : 32

Terjemah;
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Q.S. al-Nisa’ (4) : 32

1. Ma’ani al-Mufradat (Kosa kata)
اكتسبوا (iktasabû) dan اكتسبن (Iktasabna) terambil dari kata كسب (kasaba) penambahan huruf ta ( ت ) sehingga menjadi اكتسبوا maupun اكتسبن dalam berbagai bentuknya menunjukkan adanya sikap kesungguhan maupun usaha ekstra sehingga menghasilkan sesuatu yang terbaik, sangat berbeda dengan kalimat كسب yang berarti melakukan sesuatu dengan mudah yang tidak disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh.

Menurut Ar-Râghib al-Ashfahâni berpendapat bahwa kata iktasaba adalah usaha manusia dan perolehannya untuk dirinya sendiri, berbeda dengan kata kasaba yang digunakan untuk dirinya dan orang lain. Sementara ulama seperti Syikh Muhammad Thahir Ibn ‘Âsyûr, berpendapat bahwa kata dengan patron itu digunakan juga oleh al-Qur’an untuk perolehan manusia tampa usaha dirinya seperti halnya perolehan warisan.

2. Asbab al-Nuzul
At-Tirmidzi meriwayatkan melalui Mujahid bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ucapan isteri Nabi Saw., Ummu Salamah, berkata kepada Rasul Saw., “Sesungguhnya pria berjihad mengangkat senjata melawan musuh, sedang perempuan tidak demikian. Kami juga selaku perempuan hanya mendapat setengah bagian lelaki,…” Ini angan-angan yang bukan pada tempatnya hingga ia terlarang.
Demikian juga Iman Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah para pria kita dapat pergi berjihad dan kita para wanita tidak dapat, sedangkan mengenai pembagian warisan kita memperoleh bagian separuh dari bagian pria.” Maka turunlah QS. An-Nisa (4) : 32 ini.
Dalam riwayat lain oleh Ibnu Abi Hatim dari Said bin Jubair bahwa Ibnu Abbas bercerita; “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw., dan berkata, Ya Rasulullah, seorang laki-laki mendapat bagian seperti bagian dua perempuan, dan penyaksian dua perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Apakah dalam beribadah demikian pula, seorang perempuan jika berbuat kebajikan memperoleh separuh pahala. Maka turunlah QS. An-Nisa’(4) : 32.
Selanjutnya berkata Assuddi mengenai ayat ini, bahwasanya ada pria-pria berkata, “Kita ingin mendapat pahala bagi amal-amal kita dua kali pahala wanita-wanita, sebagaimana kita dapat dua bagian dalam pembagian warisan dan lain-lain. Dan berkata para wanita, “Kita ingin mendapat pahala seperti pahala syuhada, karena kita tidak dapat berjihad dan andaikata kita diwajibkan berjihad niscaya kita akan melakukannya, tetapi Allah tidak menghendaki itu dengan firmanNya; “ …dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya …”
3. Tafsir ayat
Ayat ini berpesan agar tidak berangan-angan dan berkeinginan yang dapat mengantar kepada pelanggaran ketentuan Allah, diantaranya menyangkut pembagian warisan dimana laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari perempuan. Pesan ayat ini adalah “Dan janganlah berangan-angan yang menghasilakan ketamakan terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu”, seperti; harta benda, bagian dalam warisan, harta anak yatim, kedudukan, kecerdasan, nama baik, jenis kelamin, dan lain-lain yang kualitasnya lebih baik ataui jumlahnya lebih banyak dari apa yang dianugrahkan Allah kepada sebagian yang lain.
Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa, Allah Swt., senantiasa memberikan yang terbaik menurut ukuran Allah Swt., kepada setiap manusia baik itu kepada laki-laki maupun kepada perempuan, sehingga tidak boleh antara satu dengan yang lainya saling irihati yang mengharuskan berangan-angan untuk memperoleh yang lebih baik dibandingkan yang lainnya, bahkan seharusnya perbedaan hak itu disikapi dengan bijak oleh manusia dengan jalan dimamfaatkan sesuai dengan peruntukannya dan dibarengi dengan doa sebagai ungkapan syukur kepadaNya.

C. Q.S. al-Nisa’ (4) : 128

Terjemah;
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Q.S. al-Nisa’ (4) : 128

1. Ma’ani al-Mufradat (Kosa kata)
نشوز (nusyuz): Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
لاجناح (lâ junâha) yang berarti tidak mengapa, biasanya digunakan untuk sesuatu yang semula diduga terlarang. Atas dasar ini ulama berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi isteri untuk mengorbankan sebagian haknya untuk mencapai perdamaian
شح (syuhh) yang berarti kekikiran pada mulanya digunakan untuk kekikiran dalam harta benda, tetapi dalam ayat ini mengadung makna kekikiran yang menjadikan seseorang enggan mengalah atau mengorbankan sedikit haknya.
تحسنوا (tuhsinû) terambil dari kata yang sama dengan احسان )ihsân( digunakan untuk dua hal; pertama memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Karena itu ihsân lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau nafkah maknanya bahkan lebih tinggi dan lebih dalam dari kandungan makna adil karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan memperlakukan diri sendiri. Sedangkan ihsân member lebih banyak dari yang seharusnya anda berikan, dan mengambil lebih sedikit dari pada seharusnya anda ambil.

2. Asbab al-Nuzul
At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa isteri Nabi Saw., Saudah binti Zam’ah, khawatir dicerai oleh Nabi Saw. Maka dia bermohon agar tidak dicerai dengan menyerahkan haknya bermalam bersama Rasulullah Saw., untuk isteri Nabi Saw., ‘Â’isyah (isteri yang paling dicintai beliau setelah Khadijah).
Imam Syâfi’I meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan dengan kasus putri Muhammad Ibn Malamah yang akan dicerai oleh suaminya, lalu dia bermohon agar tidak dicerai dan rela dengan apa saja yang ditetapkan suaminya, mereka berdamai dan turunlah ayat ini.

3. Tafsir ayat
Dalam suatu ikatan pernikahan, tidak akan luput dari kesalahpahaman. Jika kesalahpahaman itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pasangan suami isteri, bahkan mengancam kelangsungan kerukunan hidup berumah tangga yang kemungkinan berakhir dengan perceraian, maka ayat ini memfatwakan bahwa; “Dan jika seorang wanita khawatir” dengan menduga adanya tanda-tanda akan nusyuz yakni keangkuhan yang mengakibatkan meremehkan isterinya dan menghalangi hak-haknya atau bahkan walau hanya bersikap berpaling, yakni tidak acuh dari suaminya yang menjadikan sang isteri merasa tidak mendapatkan sikap ramah, baik dalam percakapan, maupun hubungan bersebadan seperti yang pernah dirasakan sebelumnya, dan hal tersebut dikhawatirkan mengantar kepada perceraian. Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, yakni dengan jalan mengorbankan (mengikhlaskan) sebagian haknya kepada pasangannya, walaupun kekikiran selalu dihadirkan dalam jiwa manusia secara umum.
Dimulainya ayat ini dengan tuntunan “jika seorang wanita khawatir akan nusyuz” mengajarkan kepada setiap muslim dan muslimah agar menghadapinya dan berusaha menyelesaikan problem begitu tanda-tandanya terlihat atau terasa, dan sebelum menjadi besar dan sulit diselesaikan.
Meskipun sifat kekikiran dimaksudkan adalah tabiat manusia yang jiwanya tidak dihiasi dengan nilai-nilai agama (tabiat manusia secara umum, baik laki-laki maupun wanita)
Pandangan penulis tentang ayat ini adalah tuntunan Allah Swt., tentang perkara hubungan pernikahan tentu tidak selamanya normal, bahkan boleh jadi setiap saat berpotensi terjadinya kesalahpahaman antara suami dan isteri dimana dapat saja mengancam terjadinya perselisihan dan perceraian. Bila terjadi situasi seperti ini maka masing-masing pasangan dianjurkan mengalah dengan mengorbankan hak-haknya yang dapat menjadi jalan terwujudnya perdamaian yang kembali mengharmoniskan hubungan suami isteri.
Meski disadari bahwa pada manusia ada sifat kikir yang menjadi tabiatnya, namun tabiat kikir inilah yang harus diredam dengan mengedepankan sikap iman dan ketaqwaan agar mampu merebut ridha Allah Swt.

D. Q.S. al-Isra’ (17) : 100

Terjemah :
Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya". dan adalah manusia itu sangat kikir.
Q.S. al-Isra’ (17) : 100

a. Ma’ani al-Mufradat (Kosa kata)
انتم (antum) yang berarti kamu, pada ayat ini menunjukkan kakhususan, yakni kamu saja (kaum musyrikin) bukan yang lain, yang dikecam Allah Swt., senantiasa akan berlaku kikir bila menguasai perbendahaan-perbendaharaan (harta dan kebutuhan hidup sehari-hari) sebagai rahmat/rezki karunia dari Allah Swt.
خزاءن (khasa’in) yang berarti perbendaharaan/gudang-gudang penyim-panan, digunakan untuk menggambarkan aneka anugrah dan nikmat Allah Swt. , yang sangat berharga, tidak diketahui isi gudang itu kecuali pemiliknya, bahkan tidak akan habis meskipun selalu terambil dan dimamfaatkan.
قتورا (qaturaa) adalah bentukan dari kata وقتر yang berarti “terlalu hemat, mempersempit belanja” dengan demikian dapat diartikan sebagai sifat kikir yang memang telah menjadi tabiat manusia.

b. Asbab al-Nuzul
Ayat 100 dari surat al-Isra’ (17) ini turun sebagai jawaban terhadap tuntutan dan permintaan kaum musyrikin kepada Rasulullah Saw., sebagaimana tersebut pada ayat 90 sampai dengan 93 dalam surat yang sama, yakni;
Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk Kami, (90) Atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, (91) Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas Kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. (92) Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. dan Kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas Kami sebuah kitab yang Kami baca". Katakanlah: "Maha suci Tuhanku, Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (93) QS. Al-Isra’ (17) : 90-93

c. Tafsir ayat
QS. Al-Isra’ (17) : 100 ini adalah perintah Allah Swt., kepada Nabi Saw., agar mengatakan kepada orang-orang musyrikin yang mengajukan beraneka ragam tuntutan, atau kepada siapapun, “Jikalau kamu menguasai perbendaharaan rahmat rezeki dan aneka karunia Tuhanku”, yang telah melimpahkan kepadamu anugrah yang tidak ternilai harganya, niscaya perbendahaan yang kamu tahan karena kamu takut, yakni kamu enggan membelanjakannya disebabkan karena kekikiranmu yang melekat pada dirimu sebagai tabiat.
Ayat ini megandaikan bahwa kaum musyrikin yang memiliki perbendaharaan/gudang-gudang rezeki dari Allah Swt., seandainya mereka memilikinya pasti enggan mengeluarkan sebagian disebabkan karena kekikiran mereka. Jika demikian keadaannya, mengapa mereka meminta dari Nabi Saw., apa yang tidak dimiliki oleh Nabi Saw., bahkan tidak mampu dilakukan, padahal juga tidak dibutuhkan oleh mereka.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa ayat ini memberi penegasan akan tabiat manusia itu kikir. Meskipun diberikan karunia yang berlimpah tetap mereka kikir, tetapi tentu Allah Swt., tidak demikian. Allah Swt., senantiasa memberikan apa saja dan kepada siapa pun, termasuk apa yang dituntut oleh kaum musyrikin itu. Tetapi Allah Swt., memberi sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaanNya, dan karena apa yang kaum musyrikin minta itu tidak dibutuhkan lagi setelah sekian banyak bukti-bukti yang justeru lebih meyakinkan dari apa yang mereka tuntut.

E. Munasabat ayat
Dari ayat-ayat yang telah diuraikan pada bagian terdahulu yakni; QS. an-Nisa’ (4) : 32, QS. an-Nisa’ (4) : 128, dan QS. al-Isra’ (17) : 100 mengandung unsur keterkaitan maksud, yang secara garis besarnya diuraikan sebagai berikut :
1. QS. an-Nisa’ (4) : 32, yang berbicara tentang hak masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan dengan berdasarkan ketentuan dan kebijaksanaan Allah Swt., nampaknya berbeda yang memungkinkan terjadinya irihati dan kecemburuan bahkan angan-angan yang tidak beralasan. Padahal bila dicermati dengan seksama justeru disinilah letaknya sebuah bentuk keadilan yang hakiki, sebagai contoh dari sisi pembagian warisan, laki-laki mendapat dua bagian perempuan (ini merupakan sebuah keadilan) oleh karena ketika memasuki pembicaraan tentang pernikahan, laki-laki berkewajiban menyampaikan mahar kepada calon isteri (pihak perempuan), sementara pihak perempuan diwajibkan menerima. Proses ini menunjukan bahwa (harta warisan) milik laki-laki satu bagian beralih kepemilikannya kepada perempuan. Penekanannya adalah bagaimana sikap manusia mensyukuri karunia Allah Swt.
2. Sedangkan pada QS. an-Nisa’ (4) : 128, yang berbicara tentang nusyuz, yaitu; meninggalkan kewajiban bersuami isteri, nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Apabila terjadi hal yang demikian maka “perdamaian” yang harus menjadi perioritas utama, maka boleh saja pihak yang khawatir terhadap dampak nusyuz ini lebih parah yang memungkinkan sampai pada keputusan (bercerai) itu mengorbankan (mengikhlaskan) hak-haknya untuk tidak dipenuhi pihak lain, demi untuk tercapainya hubungan yang baik (berdamai). Hal yang demikian ini sangat dipuji oleh Allah Swt., meskipun diakui bahwa sifat manusia kikir, bukan saja kikir dalam soal harta, tetapi juga kikir dari persoalan hak-hak dan kewajiban.
3. Sementara pada QS. Al-Isra’ (17) : 100, memberikan penegasan bahwa tabiat manusia itu memang kikir, yang digambarkan dengan karakter kaum musyrikin yang menguasai pundi-pundi perekonomian sulit untuk berbagi terhadap orang lain, kalaupun ada sinyal akan berbagi pasti menetapkan persyaratan yang tidak rasionil (sulit dipenuhi).
Berdasarkan analisa ini maka dapat dinyatakan bahwa ketiga ayat ini memiliki hubungan (munasabat) yakni :
1. Ketiganya berbicara tentang ketentuan Allah Swt., yang menunjukkan sebuah keadilan menyangkut masalah hak dan kewajiban.
2. Ketiga ayat tersebut memberi penekanan betapa pentingnya perdamaian baik dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya dan khusunya dalam kehidupan berumah tangga.
3. Ayat pada QS. an-Nisa’ (4) : 32 yang membicarakan tentang hak-hak atas karunia Allah Swt., berdasarkan ketentuanNya (pada tahap awal) sebagai contoh masalah warisan, laki-laki mendapat dua bagian perempuan, namun pada (tahap selanjutnya) satu bagian dari laki-laki akan menjadi hak bagi perempuan dalam bentuk mahar, inilah pesan keadilan yang disampaikan ayat ini dalam rangka mencapai suatu kedamaian dalam kehidupan. Hal serupa juga menjadi pesan yang ditonjolkan oleh QS. an-Nisa’ (4) : 128, seseorang baik laki-laki maupun perempuan sangat dianjurkan mengedepankan perdamaian dengan cara apapun termasuk dengan mengorbankan hak-hak yang semestinya menjadi miliknya. Artinya kedua ayat ini menjadikan pesan utamanya adalah terwujudnya perdamaian, baik dalam persamaan hak maupun dalam kehidupan rumah tangga.
4. Karena pentingnya perdamaian maka wajib dipertahankan meskipun membutuhkan pengorbanan yang tidak mudah, sebab disadari bahwa tabiat manusia itu kikir seperti yang diistilakan pada QS. an-Nisa’ (4) : 128 adalah شح (syuhh)/kekikiran yang berarti keengganan seseorang untuk mengalah atau mengorbankan sedikit haknya, meski demi perdamaian. Hal yang sama diungkap pada QS. Al-Isra’ (17) : 100 dengan istilah قتورا (qatuwraa) yang berarti sangat kikir yang menjadi gambaran sikap dan tabiat kaum musyrikin, artinya tabiat kikir itu dipersamakan dengan kaum musyrikin, yang enggan menunjukkan sikap perdamaian. Dengan demikian pesan yang teramat penting dari ayat ini, bagi mereka yang tidak mengindahkan upaya perdamaian diidentikkan dengan kaum musyrikin.
5. Yang menjadi pesan utama ketiga ayat ini adalah hak dan kewajiban manusia, baik sebagai personal dalam kehidupan berumah tangga, maupun sebagai personal anggota masyarakat secara luas.


F. Hukum-hukum
pertama; Q.S. al-Nisa’ (4) : 32 mengandung ketentuan tentang hak dan kewajiban, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, telah menjadi ketetapan Allah Swt.secara proporsional yang menunjukkan sebuah keadilan yang hakiki.
Kedua; Q.S. al-Nisa’ (4) : 128 ayat mengandung hukum terkait dengan nusyuz, yang membolehkan (menghalalkan) mengorbankan sebagian hak dalam rangka mempertahankan kedamaian dalam rumah tangga,
Ketiga; Q.S. al-Isra’ (17) : 100 menunjukkan tabiat manusia adalah kikir, sebagaimana yang diperlihatkan oleh kaum musyrikin yang menahan gudang-gudang perbendaharaan (harta yang dikuasainya), enggan untuk diinfakkan/dibelanjakan walau sebagian, karena takut akan kehabisan.

G. Hikmah Tasyri’
1. Tabiat manusia pada dasarnya adalah kikir, sifat inilah yang harus diredam, bahkan dihilangkan dalam rangka mencapai stabilitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
2. Perdamaian dan kerukunan dalam rumah tangga harus menjadi perioritas utama, meski harus mengorbankan sebagian hak.
3. Keserakahan, ketamakan, dan ketakutan merupakan tabiat kaum musyrikin, maka bila ada muslim atau muslimah yang berwatak seperti ini, maka sama halnya dia sebagai orang sakit.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Hak dalam kehidupan berumahtangga adalah segala sesuatu yang harus diperoleh sebagai pelayanan, sikap perilaku, dan pemberian yang diberikan oleh suami atau isteri dalam rangka tercapainya ketenraman dalam kehidupan. sementara kewajiban adalah sesuatu tanggung jawab yang harus dilakukan, diberikan, kepada suami ataupun isteri dan orang-orang berada dalam pengayoman/pemeliharaan
2) Perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, adalah ketentuan Allah SWT, yang mengisyaratkan terwujudnya keadilan secara proporsional.
3) Al-Qur’an menitiberatkan bahwa perdamaian baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pada masyarakat, harus menjadi perioritas untuk diupayakan meskipun harus mengorbankan/mengikhlaskan hak-hak pribadi seseorang.

B. Saran-saran
Makala ini jauh dari kesempurnaan, olehnya itu keritik, saran, koreksi, dan masukan membangun, senantiasa ditunggu dan disambut dengan tangan terbuka, dan sebelumnya diucapkan terima kasih.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Edisi kedua, Surabaya, Pustaka Progressif, cet.25, 2002, h.1090

Dendy Sugono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi keempat, Jakarta, PT Gramedia, 2008
Mushthafa, Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Terjemah) Jilid 4, Semarang, Toha Putra, 1992
Shihab Quraish, Tafsil al-Misbah. Vol.2, Jakarta. Lentera Hati, 2002
Taufiq Produk, Inc, Quran in Word. (Software Qur’an in word program), Ind 1,3